Sibuk Mengurus Orang Lain adalah Kebodohan!
Problematika hubungan kemanusiaan adalah fenomena klasik dan modern. Sebagian orang ada yang bersikap terlalu berlebihan dalam membina hubungan kemanusiaan dan mencurahkan segala perhatiannya ke arah sana. Ada juga yang berusaha mengurus diri sendiri saja, serta menghindari segala interaksi sosial sebisa mungkin. Akhirnya ia jarang bertemu dan mengunjungi orang lain, tidak banyak berteman dan berkenalan.
Generasi As-salaf telah memandang persoalan ini dengan cermat sekali. Mereka hanya mengharuskan mengadakan hubungan sosial sebatas yang diwajibkan oleh Islam, seperti shalat jama'ah, shalat jum'at, menjenguk orang sakit, mengiringi jenazah, berbuat kebaikan kepada orang lain dan sejenisnya. Namun mereka melarang terlalu banyak mengurus orang lain dalam majelis-majelis yang menyebabkan banyak mengumbar omong kosong dan ucapan sia-sia. Mereka juga melarang menjadikan hubungan sosial itu sebagai sandaran, meskipun banyak orang yang senang berbuat demikian. Banyak orang memandang hubungan sosial itu sebagai legitimasi kepentingan mereka atau indikasi dari kekuatan pengaruh mereka.
Lihatlah Wahib bin Al-Warid, seorang ahli ibadah yang zuhud, bahkan digelari oleh Sufyan Ats-tsauri sebagai "sang Dokter". Beliau menceritakan pengalaman beliau melakukan hubungan sosial dengan masyarakat. Beliau berkata: "Aku telah bergaul dengan masyarakat selama lima puluh tahun, namun tidak pernah kudapatkan seorangpun diantara mereka yang bisa memaafkan dosaku sedikitpun atau berbaik kembali setelah kuputuskan hubungan dengannya, atau suka menutupi aibku atau membuat diriku tetap nyaman meskipun ia sedang marah. Maka sibuk mengurus mereka adalah kebodohan yang besar".
Yang beliau maksud, bahwa menggantungkan harapan kepada mereka, mencoba mencari pujian mereka, memperhatikan ucapan mereka dan penilaian mereka terhadap orang lain, berusaha membuat mereka senang. Kesemuanya itu adalah kesibukan yang tidak membawa keuntungan, membuat letih tapi tidak bermanfaat. Manusia tetap saja manusia, di jaman apapun mereka hidup. Membuat mereka senang adalah target yang tidak akan pernah bisa dicapai. Sikap bijak mereka terhadap orang lain juga hal yang tidak bisa direalisasikan. Lalu kenapa seorang sampai lupa dengan kepentingannya sendiri? Atau membuang-buang waktunya dengan angan-angan semacam itu? Padahal sudah dimaklumi, bahwa orang lain tidak akan memberinya manfaat sedikitpun, tidak mampu menguntungkan atau membahayakan dirinya sama sekali.
Sesungguhnya, selama seorang sudah menunaikan kewajiban sosial yang diwajibkan oleh Alloh terhadap keluarga dan teman-temannya, selama ia sudah melaksanakan kewajiban bekerjasama dengan masyarakat Muslim, tidak ada masalah bila ia hendak berkonsentrasi mengurus dirinya sendiri, memanfaatkan waktu untuk mencari ilmu yang berguna atau beramal shalih, atau merancang cita-cita yang bermanfaat.
Namun kalau sekedar "kembang majelis" atau omongan-omonga yang sia-sia, sibuk menceritakan aib orang lain, bukan berinstropeksi diri, dengan dalil untuk mengambil hati orang lain, mencari pujian, menarik perhatian mereka, itulah yang disebut Wahib sebagai kebodohan terbesar.
Hendaknya seorang itu membayangkan posisinya sendiri dan bagaimana orang lain menyikapinya. Kalau semua harta, kedudukan dan kesehatan sudah habis, siapa lagi diantara mereka yang masih menyukainya dan berusaha menyenangkan hatinya?
Tidak pernahkah ia mendengar ungkapan orang yang ditinggal oleh temen-temannya ketika ia sudah kehilangan jabatan, lalu ketika jabatan itu kembali kepadanya, teman-temannya itupun kembali. Ia berkata:
"Masa lalu sudah kembali lagi, silakan kalian kembali..."
Atau ungkapan orang yang berkata;
"Manusia adalah yang berkata kepada orang yang mendapatkan kebaikan: "Siapa yang suka? Ibu dari seorang pendosa saja melahirkan orang bernama Habal (seorang pahlawan)?"
Lalu apa lagi nilai dari omongan manusia yang dikejar-kejar oleh sebagian orang, namun dibenci oleh sebagian yang lain? Kondisi masyarakat itu sebagaimana yang diungkapkan Wahib:
"Tidak bisa memaafkan dosa sedikitpun atau hanya berbaik kepada orang yang tidak memutuskan hubungan dengannya, atau suka menutupi aib, atau membuat nyaman bila ia sedang marah."
Kita berlindung dari Rabb semua manusia, Yang berhak diibadahi oleh seluruh manusia, dari kejahatan orang yang suka membisikkan keburukan dan syetan yang suka bersembunyi, dari golongan jin dan manusia.
Disalin dari buku:
Haakadzaa.. Tahaddatsas Salaf
Edisi Indonesia "Potret Kehidupan Para Salaf"
Dr Musthafa Abdul Wahid
Hal 191-193, Cetakan ke 2
Pustaka At-tibyan
Generasi As-salaf telah memandang persoalan ini dengan cermat sekali. Mereka hanya mengharuskan mengadakan hubungan sosial sebatas yang diwajibkan oleh Islam, seperti shalat jama'ah, shalat jum'at, menjenguk orang sakit, mengiringi jenazah, berbuat kebaikan kepada orang lain dan sejenisnya. Namun mereka melarang terlalu banyak mengurus orang lain dalam majelis-majelis yang menyebabkan banyak mengumbar omong kosong dan ucapan sia-sia. Mereka juga melarang menjadikan hubungan sosial itu sebagai sandaran, meskipun banyak orang yang senang berbuat demikian. Banyak orang memandang hubungan sosial itu sebagai legitimasi kepentingan mereka atau indikasi dari kekuatan pengaruh mereka.
Lihatlah Wahib bin Al-Warid, seorang ahli ibadah yang zuhud, bahkan digelari oleh Sufyan Ats-tsauri sebagai "sang Dokter". Beliau menceritakan pengalaman beliau melakukan hubungan sosial dengan masyarakat. Beliau berkata: "Aku telah bergaul dengan masyarakat selama lima puluh tahun, namun tidak pernah kudapatkan seorangpun diantara mereka yang bisa memaafkan dosaku sedikitpun atau berbaik kembali setelah kuputuskan hubungan dengannya, atau suka menutupi aibku atau membuat diriku tetap nyaman meskipun ia sedang marah. Maka sibuk mengurus mereka adalah kebodohan yang besar".
Yang beliau maksud, bahwa menggantungkan harapan kepada mereka, mencoba mencari pujian mereka, memperhatikan ucapan mereka dan penilaian mereka terhadap orang lain, berusaha membuat mereka senang. Kesemuanya itu adalah kesibukan yang tidak membawa keuntungan, membuat letih tapi tidak bermanfaat. Manusia tetap saja manusia, di jaman apapun mereka hidup. Membuat mereka senang adalah target yang tidak akan pernah bisa dicapai. Sikap bijak mereka terhadap orang lain juga hal yang tidak bisa direalisasikan. Lalu kenapa seorang sampai lupa dengan kepentingannya sendiri? Atau membuang-buang waktunya dengan angan-angan semacam itu? Padahal sudah dimaklumi, bahwa orang lain tidak akan memberinya manfaat sedikitpun, tidak mampu menguntungkan atau membahayakan dirinya sama sekali.
Sesungguhnya, selama seorang sudah menunaikan kewajiban sosial yang diwajibkan oleh Alloh terhadap keluarga dan teman-temannya, selama ia sudah melaksanakan kewajiban bekerjasama dengan masyarakat Muslim, tidak ada masalah bila ia hendak berkonsentrasi mengurus dirinya sendiri, memanfaatkan waktu untuk mencari ilmu yang berguna atau beramal shalih, atau merancang cita-cita yang bermanfaat.
Namun kalau sekedar "kembang majelis" atau omongan-omonga yang sia-sia, sibuk menceritakan aib orang lain, bukan berinstropeksi diri, dengan dalil untuk mengambil hati orang lain, mencari pujian, menarik perhatian mereka, itulah yang disebut Wahib sebagai kebodohan terbesar.
Hendaknya seorang itu membayangkan posisinya sendiri dan bagaimana orang lain menyikapinya. Kalau semua harta, kedudukan dan kesehatan sudah habis, siapa lagi diantara mereka yang masih menyukainya dan berusaha menyenangkan hatinya?
Tidak pernahkah ia mendengar ungkapan orang yang ditinggal oleh temen-temannya ketika ia sudah kehilangan jabatan, lalu ketika jabatan itu kembali kepadanya, teman-temannya itupun kembali. Ia berkata:
"Masa lalu sudah kembali lagi, silakan kalian kembali..."
Atau ungkapan orang yang berkata;
"Manusia adalah yang berkata kepada orang yang mendapatkan kebaikan: "Siapa yang suka? Ibu dari seorang pendosa saja melahirkan orang bernama Habal (seorang pahlawan)?"
Lalu apa lagi nilai dari omongan manusia yang dikejar-kejar oleh sebagian orang, namun dibenci oleh sebagian yang lain? Kondisi masyarakat itu sebagaimana yang diungkapkan Wahib:
"Tidak bisa memaafkan dosa sedikitpun atau hanya berbaik kepada orang yang tidak memutuskan hubungan dengannya, atau suka menutupi aib, atau membuat nyaman bila ia sedang marah."
Kita berlindung dari Rabb semua manusia, Yang berhak diibadahi oleh seluruh manusia, dari kejahatan orang yang suka membisikkan keburukan dan syetan yang suka bersembunyi, dari golongan jin dan manusia.
Disalin dari buku:
Haakadzaa.. Tahaddatsas Salaf
Edisi Indonesia "Potret Kehidupan Para Salaf"
Dr Musthafa Abdul Wahid
Hal 191-193, Cetakan ke 2
Pustaka At-tibyan
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home