KB
Di negeri yang seuprit ini, yang mayoritas manusianya terkendalikan oleh orientasi materi, problema tentang perkembangbiakkan menjadi polemik dalam beberapa dekade ini. Level keinginan generasi kedua untuk mempunyai keturunan sangat-sangatlah minim, pertimbangan tentang kestabilan finansial, kesiapan fisik dan mental menjadi alasan utama yang menjadikan mereka baranggapan bahwa punya anak itu bagaikan suatu project besar yang bakalan menguras perhatian, pikiran dan tentu saja uang.
Pemerintahnya kembola kembali mengiming-imingi warganya dengan berbagai privillage bagi mereka yang bersedia mau punya anak, mulai dari tunjang sana-tunjang sini, potongan sana-potongan sini, bonus ini-bonus itu, tapi teuteup saja keinginan itu tak lantas menggelora. Solusi untuk meng-cover kebutuhan tenaga kerja, pemerintah bisa melakukan hiring bagi foreigner2 untuk masuk ke pangsa pasar tenaga kerja disini, dan untuk menyeimbangkan piramida penduduk aksi-aksi naturalisasi digencarkan.Hampir semua area kena dampak naturalisasi, mulai dari tanah naturalisasi dari indonesia sampai atlit-atlit pun bolehnya meng-import dari negeri tetangganya. Pokoke terima jadi saja, asal bisa dibayar dengan uang.
Walaupun begitu, orang-orang pribumi yang memang asli nenek moyangnya sudah disini sejak kemerdekaannya, nampaknya santai-santai saja menyikapi ini. Toh mereka tetep diistimewakan dibanding para pendatang, status mereka masih ada lebihannya bisa dikatakan begitu tinimbang orang luar.
Suatu ketika, seorang Tokei yang saya kenal pernah ngomong, "buat saya anak satu biji itu saja udah terlalu banyak". Lha saya hanya spechless dengan mendenger yang demikian itu.Ya begitulah realita yang ada, mungkin suara itu mewakili dari sekian banyak pemikiran yang menggelayuti para pasangan usia produktifnya. Hal ikutan berikutnya yang jadi imbas akan minimnya niat berketurunan adalah semangkin demotivated nya generasi berikutnya untuk memasuki jenjang pernikahan dan ini jadi semangkin membuat gulung koming masyarakatnya. Bagaimana tidak, hawong sampai-sampai Pemimpin negara pun mengusulkan wacana 'kontak jodoh', biro jodo' atau semacamnya. Gimana caranya yang muda-muda itu mau nikah, mau
hidup bebrayan.
Weleh-weleh, lha kok hidup dibuat susah to yo, kok sajaknya hidup ini hanya dari yang kita usahakan saja. Apa ndak eling, kalo usaha itu cuma lantaran saja, kok nda' yakin kalau kita punya penjamin yang ngga' bakalan kena bangkrut seberapapun yang ditanggungnya, (kalau kita mau percaya).
Apakah anak-anak itu cukup dikasih makan, sama duit saja, terus diles pelajaran-pelajaran sekolah... ya kalau memang begitu, ya jadinya seperti ini ya generasi sekarang itu. Masak sih orang-orang yang katanya maju masih saja mau berpayah-payah gara-gara di drive sama materi.
Dasar ndunyane wis balik kiri grak!!!
Pemerintahnya kembola kembali mengiming-imingi warganya dengan berbagai privillage bagi mereka yang bersedia mau punya anak, mulai dari tunjang sana-tunjang sini, potongan sana-potongan sini, bonus ini-bonus itu, tapi teuteup saja keinginan itu tak lantas menggelora. Solusi untuk meng-cover kebutuhan tenaga kerja, pemerintah bisa melakukan hiring bagi foreigner2 untuk masuk ke pangsa pasar tenaga kerja disini, dan untuk menyeimbangkan piramida penduduk aksi-aksi naturalisasi digencarkan.Hampir semua area kena dampak naturalisasi, mulai dari tanah naturalisasi dari indonesia sampai atlit-atlit pun bolehnya meng-import dari negeri tetangganya. Pokoke terima jadi saja, asal bisa dibayar dengan uang.
Walaupun begitu, orang-orang pribumi yang memang asli nenek moyangnya sudah disini sejak kemerdekaannya, nampaknya santai-santai saja menyikapi ini. Toh mereka tetep diistimewakan dibanding para pendatang, status mereka masih ada lebihannya bisa dikatakan begitu tinimbang orang luar.
Suatu ketika, seorang Tokei yang saya kenal pernah ngomong, "buat saya anak satu biji itu saja udah terlalu banyak". Lha saya hanya spechless dengan mendenger yang demikian itu.Ya begitulah realita yang ada, mungkin suara itu mewakili dari sekian banyak pemikiran yang menggelayuti para pasangan usia produktifnya. Hal ikutan berikutnya yang jadi imbas akan minimnya niat berketurunan adalah semangkin demotivated nya generasi berikutnya untuk memasuki jenjang pernikahan dan ini jadi semangkin membuat gulung koming masyarakatnya. Bagaimana tidak, hawong sampai-sampai Pemimpin negara pun mengusulkan wacana 'kontak jodoh', biro jodo' atau semacamnya. Gimana caranya yang muda-muda itu mau nikah, mau
hidup bebrayan.
Weleh-weleh, lha kok hidup dibuat susah to yo, kok sajaknya hidup ini hanya dari yang kita usahakan saja. Apa ndak eling, kalo usaha itu cuma lantaran saja, kok nda' yakin kalau kita punya penjamin yang ngga' bakalan kena bangkrut seberapapun yang ditanggungnya, (kalau kita mau percaya).
Apakah anak-anak itu cukup dikasih makan, sama duit saja, terus diles pelajaran-pelajaran sekolah... ya kalau memang begitu, ya jadinya seperti ini ya generasi sekarang itu. Masak sih orang-orang yang katanya maju masih saja mau berpayah-payah gara-gara di drive sama materi.
Dasar ndunyane wis balik kiri grak!!!
Labels: 20Cent
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home