Thursday, December 18, 2008

Nyleneh

Kalau kita udah disediain aturan, kenapa kita musti pusing bikin aturan?
Retorisme simple yang kadang masih susah dipraktekkan bagi orang-orang yang keras hati, sok pinter, waton suloyo, yang ujung-ujungnya hanya pengin menange dhewek.

Ya, itulah yang akhirnya memunculkan fenomena keganjilan aturan-aturan versi manusia yang dipenuhi berbagai macam kontradiksi, tumpang tindih satu sama lain, yang sangat kental dengan hawa “ngono yo ngono ning ojo ngono”.

Mau tahu bukti shahih keganjilan-keganjilan itu?

1. Minuman beralkohol, hanya boleh diminum bagi yang sudah dewasa, itupun kalau anda boleh minum, asal jangan sampai mabuk

2. HLSITI (Hubungan Layaknya Suami-Istri Tanpa Ikatan), boleh saja, dengan syarat:
- tidak dengan suami/istri orang
- ngga’ ketahuan sama pasangan resmi
- syah jika dilakukan dengan mereka yang berprofesi sebagai pelayan HLSSTI
- dllymbl (danlainlainyangmasihbanyaklagi)

3. Hubungan sesama jenis, masih jadi kontroversi, tapi kalau mau meresmikannya di Negara yang melegalkan hubungan itu, maka syah-syah saja.

4. Berpakaian minim, boleh asal tidak mengundang hal-hal yang tidak diinginkan bagi si pemakai. Adalagi yang nyleneh, berpakain minim boleh asal sopan…(heh?).

5. Merokok, boleh asal ga’ bikin orang plepek-plepek karena asapnya.

6. Berdemokrasi, silakan saja jadi presiden, gubernur, bupati, kepala desa.. syaratnya jika punya banyak pendukung, ngga’ peduli mau preman, mau penjahat aktif, mau mantan ustadz, apapun profesinya boleh masuk panggung politik asal punya pendukung.

7. Muamalah ghoror/samar/tanpa objek dan subjek yang jelas/penuh unsure riba boleh-boleh saja, asal suka sama suka.

Dan masih banyak lagi jika ingin dikupas satu per satu

Padahal ni ya, wis cetho ngeglo welo welo ketoro moto, bahwa semua itu ngga’ banyak manfaat yang bisa diambil, madharat jelas kentara, eeevvvrrybody knows, dan pastinya sadar sesadar-sadarnya kalau madharat itu lebih banyak.

Contoh-contoh keganjilan itu tak lebih dari sekedar menimbulkan banyak sekali perdebatan panjang, diskusi yang melelahkan antara iya dan tidaknya, boleh-ngga’nya, bagaimana menjelaskan batasan-batasan perkecualian yang bisa ditetapkan.
Isi kepala manusia yang beraneka ragam diadu jadi satu, dan ini bakalan susah banget, dan pada akhirnya hasil yang muncul ngga’ bisa diterima 100%, walaupun dengan dipaksa.

Nah sekarang bandingkan sama aturan-aturan yang SAYA YAKINI kebenarannya dengan jelas, padat dan singkat

1. Minuman beralkohol
2. HLSITI
3. Hubungan yang jenisnya sama
4. Pakain minim
5. Merokok
6. Demokrasi
7. Muamalah ghoror

Jawabannya satu: Haram artinya dilarang.
Kalau ada catatan dharurat itu perlu penjelasan lagi.
Kalau ada yang menganggap masih diperselisihkan hukumnya, itu urusan lain, tegantung bagaimana meyakini asas-asanya, makanya ditulis gedhe-gedhe SAYA YAKINI.
Kalau ada yang berpendapat "lho itu kan makruh", maka dijawab, "lha sampeyan itu melakukan hal yang dibenci manusia saja mikir berulang-ulang, bareng menjalani yang dibenci Alloh kok entheng ngomong.. ah ini kan makruh, aiyak ... opo ya ilok kalo kaya' gitu, ini kalo mau fair-fairan"

Tapi ya beginilah, kondisi yang ada sekarang ini masih belum mengakomodir untuk melaksanakan aturan yang sudah digariskan oleh sang Pencipta manusia, yang memang lebih tahu dari manusia itu sendiri
Hopo tumon, kalo ada mesin yang dibuat manusia, lha kok ternyata si mesin itu dengan arogannya sok bikin manual tentang mesin itu sendiri, ini andaikan si mesin itu mampu. Apa nda’ anyel si pembuat mesin itu merasa dilangkahi wewenangnya?

Ironisnya kalau ada yang berpendapat untuk melaksanakan aturanNya dengan tegas, langsung diserbu dengan tudingan fundamentalis, garis keraris, sok suci-is….. and at in the of the day malahan ditambahi irhabis. Wadaw… ngga’ kuku deh.

Ngono yo ngono ning ojo ngono lah.

Labels:

Saturday, December 06, 2008

HUKUM SUJUD TILAWAH & SUJUD SYAHWI

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : "Jika saya membaca ayat sajdah, wajibkah saya sujud atau tidak ..?"

Jawaban.
Sujud tilawah adalah sunnat mu'akkad, tak pantas ditinggalkan.
Jika seseorang membaca ayat sajdah, baik dalam mushaf atau dalam hati, di dalam shalat atau di luar shalat, hendaklah ia sujud.Sujud tilawah tidaklah wajib dan tidak pula berdosa bila tertinggal, sebab terdapat keterangan bahwa ketika Umar bin Khattab berada di atas mimbar, ia membaca ayat sajdah dalam surat al-Nahl, lalu ia turun dan sujud. Tetapi pada Jum'at yang lainnya ia tidak sujud walau membaca ayat sajdah. Lantas ia berkata : "Sesungguhnya Allah tidak mewajibkan kita agar bersujud kecuali jika mau". Hal ini disampaikan di hadapan para sahabat.Juga diterangkan bahwa Zaid bin Tsabit membacakan ayat sajdah dalam surat al-Najm di hadapan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam namun ia tidak sujud, tentu Zaid akan disuruh sujud oleh Nabi jika hal itu wajib.

Dengan demikian, sujud tilawah adalah sunnat mu'akkad, yakni jangan sampai ditinggalkan walau terjadi pada waktu yang dilarang, setelah Fajar umpamanya, atau ba'da Ashar, sebab sujud tilawah, termasuk sujud yang punya sebab, sama halnya dengan shalat tahiyyatul mesjid atau lainnya.

SUJUD SAHWI
Pertanyaan.
Syaikh Muhamad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : "Kapan wajibnya sujud sahwi, sebelum atau sesudah salam..?"

Jawaban.
Sujud sahwi adalah dua kali sujud yang dilakukan orang shalat untuk menambal kekurangsempurnaan shalatnya lantaran terkena lupa. Sebab kelupaan ada tiga ; kelebihan, kekurangan dan keraguan.

Kelebihan (tambah) :
Jika yang shalat sengaja menambahkan berdiri, duduk, ruku' atau sujud, batal-lah shalatnya. Jika ia lupa akan kelebihannya dan baru sadar ketika sudah selesai, maka ia wajib sujud sahwi. Jika sadarnya itu terjadi di tengah-tengah shalat, hendaklah ia kembali ke shalatnya lalu sujud sahwi.

Contohnya, jika ia lupa shalat Zuhur lima raka'at dan baru ingat sedang tasyahud, hendaklah ia sujud sahwi dan salam.
Jika ingatnya itu di tengah-tengah raka'at kelima, hendaklah langsung duduk tasyahud dan salam. setelah itu sujud sahwi dan salam.

Cara di atas bersumber kepada hadits dari Abdullah bin Mas'ud yang menerangkan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah shalat Zhuhur lima rakaat. Lalu ditanyakan apakah ia menambahkan raka'at shalat .? Maka setelah para sahabat menjelaskan bahwa beliau shalat lima raka'at, beliau langsung bersujud dua kali setelah salam (shalat). Riwayat lain menjelaskan bahwa ketika itu beliau berdiri membelahkan kedua kakinya sambil menghadap kiblat lalu sujud dua kali dan salam.

Sujud sahwi terkadang dilakukan sebelum salam dalam dua tempat :
[1] Jika seseorang kekurangan dalam shalatnya, berdasarkan hadits Abdullah bin Buhainah Radhiyallahu 'anhu bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sujud sahwi sebelum salam ketika lupa tasyahud awal.
[2] Ketika yang shalat ragu-ragu atas dua hal dan tak mampu mengambil yang lebih diyakininya, seperti yang dijelaskan oleh hadits Abi Sa'id al-Khudri Radhiyallahu 'anhu tentang orang yang ragu-ragu dalam shalatnya, apakah tiga atau empat raka'at. Ketika itu, orang tersebut disuruh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam agar sujud dua kali sebelum salam.
Hadits-hadits yang barusan telah dikemukakan lafaznya dalam bahasan sebelumnya.

Sedangkan sujud sahwi sesudah salam, dilakukan dalam dua hal :
[1] Ketika kelebihan sesuatu dalam shalat sebagaimana yang terdapat dalam hadits Abdullah bin Mas'ud tentang shalat Zuhur lima raka'at yang dialami Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau sujud sahwi dua kali ketika sudah diberitahu oleh para sahabat. Ketika itu beliau tidak menjelaskan bahwa sujud sahwinya dilakukan setelah salam (selesai) karena beliau tidak tahu kelebihan. Maka hal ini menunjukkan bahwa sujud sahwi karena kelebihan dalam shalat dilaksanakan setelah salam shalat, baik kelebihannya itu diketahui sebelum atau sesudah salam.

Contoh lain, jika orang lupa membaca salam padahal shalatnya belum sempurna, lalu ia sadar dan menyempurnakannya, berarti ia telah menambahkan salam di tengah-tengah shalatnya. Karena itu, ia wajib sujud sahwi setelah salam berdasarkan hadits Abu Hurairah yang menerangkan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah shalat Zuhur atau Ashar sebanyak dua raka'at. Maka setelah diberitahukan, beliau menyempurnakan shalatnya dan salam. Dan setelah itu sujud sahwi dan salam.

[2] Jika ragu-ragu atas dua hal namun salah satunya diyakini. Hal ini telah dicontohkan dalam hadits Ibnu Mas'ud sebelumnya. Jika terjadi dua kelupaan, yang satu terjadi sebelum salam dan yang kedua sesudah salam, maka menurut ulama yang terjadi sebelum salamlah yang diperhatikan lalu sujud sahwi sebelum salam.
Contohnya, umpamanya seseorang shalat Zuhur lalu berdiri menuju raka'at ketiga tanpa tasyahud awal. Kemudian pada raka'at ketiga itu ia duduk tasyahud karena dikiranya raka'at kedua dan ketika itu ia baru ingat bahwa ia berada pada raka'at ketiga, maka hendaklah ia bediri menambah satu rakaat lagi, lalu sujud sahwi serta salam.
Yakni dari contoh di atas diketahui bahwa lelaki tersebut telah tertinggal tasyahud awal dan sujud sebelum salam. Ia-pun kelebihan duduk pada raka'at ketiga dan hendaknya sujud (sahwi) sesudah salam. Oleh sebab itu, apa yang terjadi sebelum salam diunggulkan.
Wallahu 'alam

Dikutip dari http://www.almanhaj.or.id/content/329/slash/0