Friday, September 26, 2008

Esensi

Ada satu pengibaratan tentang penyikapan tentang makna kesejatian hidup yang sangat menarik bagi saya, yaitu pada suatu ilustrasi yang mengetengahkan ketika seorang Pak Dosen menjamu mahasiswa-mahasiswanya yang datang kepada dia.

Ketika pada waktunnya sang Bapak menyajikan satu teko yang berisi kopi dan melengkapinya dengan berbagai macam jenis gelas yang banyaknya sesuai dengan jumlah murid-muridnya, gelas yang dibawanya tak ada yang sama jenisnya, ada gelas plastik, ada cangkir tembikar, ada cawan anggur, ada gelas biasa, dan jenis-jenis gelas yang lain. Maka ketika dipersilakan untuk "help your self" para mahasiswanya langsung menyerbu gelas-gelas itu, dengan masing-masing preferensi gelas yang ia incar dan kemudian menuangkan kopi ke dalamnya dan selanjutnya meminumnya. Sebagian dari mereka tampak berbangga dengan cangkir porselen yang mewah, sementara yang lain cuma indap-indip karena hanya mendapat jatah cangkir plastik yang sekali pakai langsung dibuang.

Kemudian pak Dosen pun memberi wejangan dan pemaknaan atas apa yang sedang berlangsung."Wahai para mahasiswaku, sesungguhnya apa yang sedang terjadi ini adalah suatu gambaran tentang realita kehidupan kita, ketika kalian aku berikan satu jenis kopi dan aku berikan berbagai macam pilihan pada wadahnya, maka sebagian kalian berbangga pada pilihan wadah tersebut, dan sebagian lain merasa tak dihormati karena mendapat wadah yang tak layak. Tapi bukankah kenikmatan dari kopi yang kalian minum adalah sama?"

"Maka ibaratkanlah bahwa kopi adalah esensi hidup, dan wadah-wadah itu sebagai sarana, janganlah tertipu pada kesemuan wadah karena masing-masing kalian juga menikmati isi yang sama".

didengar dari 93.8FM Fresh!!

Labels:

Wednesday, September 10, 2008

Mbambung

Beberapa conversation dan quotation mbambung,

Situasi 1
A: Ati-ati mas ojo cerak2 motorku, knalpote isih panas
B: It’s ok, tenang ae, aku payungan kok…
(percapkapan dengan senior waktu di kost SMA)

Situasi 2
A: Piye dab, wis sido mbok tembung nyang bapake?
B: Wis, ndik wingi…
A: weh..weh… terus piye? Bapake setuju kan?
B: Yup setuju, Lha Aku dikon ngunduh dewe mengko sore…mumpung peleme wis mateng2

Situasi 3
sering sekali, kalau kita bertemu seorang yang baru kenal, kemudian setelah bosa sana-basi sini eh lha ternyata si orang baru ini ada hubungan dengan sesuatu, baik itu sekolah-tempat asal-tempat kerja- atau yang lainnya, dan kok ternyata di sesuatu tersebut ada si anu yang kita kenal, lalu buru-buru sok heboh kita tanyakan si orang baru…’anda kenal si anu ngga??’
Seperti situasi ini:
A: sekolah nya dimana mbak?
B: Institut Teknologi Mbandung..
A: wah kenal sama Bambang dong? Temen sekolah saya, anaknya rajin dan pinter pol
B: ya iyalah dia kan sejurusan sama saya..
A: kalo Budi? dia temen sedesa sama saya, anaknya aktif banget
B: o iya. dia itu temen seorganisasi..
C datang-datang nimbrung
C: tau sama Basuki?
B: Basuki???? Basuki siapa ya?
C: Iya Basuki, masak ngga’ tau?
B: yang mana ya?
C: hallah itu lho Basuki yang srimulat….

Situasi 4:
Seorang nenek sedang ngobrol dengan si Mbak temen si Cucu dalam satu kesempatan
Si Cucu: Mbak, rasah diladeni gunemane mbahku, lha wong mbahku kuwi rodho budek kok
Si Mbak: heh… piye to kowe ki, neng kene ki ra ono gudek…

Situasi 5:
A: Sudahlah, jangan dipikirkan berlarut-larut, yang hilang ditelan bumi sudah tak lagi bisa kembali…. Ikhlaskan saja.. kan ikhlas itu separuh dari agama…

(diambil dari koment di salah satu web)

Situasi 6:
Pak Dosen yang sedang mengawal mahasiswanya dalam rangka kunjungan ke salah satu industri, didekati oleh panitia penyambut, dengan akrab pak panitia menyapa:
"Pagi pak, dengan siapa Pak?" maksud hati ingin mengetahui nama si Pak Dosen, kemudian dengan gagah menjawab, "Oh..saya, Saya sendirian saja Pak"

Labels:

KB

Di negeri yang seuprit ini, yang mayoritas manusianya terkendalikan oleh orientasi materi, problema tentang perkembangbiakkan menjadi polemik dalam beberapa dekade ini. Level keinginan generasi kedua untuk mempunyai keturunan sangat-sangatlah minim, pertimbangan tentang kestabilan finansial, kesiapan fisik dan mental menjadi alasan utama yang menjadikan mereka baranggapan bahwa punya anak itu bagaikan suatu project besar yang bakalan menguras perhatian, pikiran dan tentu saja uang.

Pemerintahnya kembola kembali mengiming-imingi warganya dengan berbagai privillage bagi mereka yang bersedia mau punya anak, mulai dari tunjang sana-tunjang sini, potongan sana-potongan sini, bonus ini-bonus itu, tapi teuteup saja keinginan itu tak lantas menggelora. Solusi untuk meng-cover kebutuhan tenaga kerja, pemerintah bisa melakukan hiring bagi foreigner2 untuk masuk ke pangsa pasar tenaga kerja disini, dan untuk menyeimbangkan piramida penduduk aksi-aksi naturalisasi digencarkan.Hampir semua area kena dampak naturalisasi, mulai dari tanah naturalisasi dari indonesia sampai atlit-atlit pun bolehnya meng-import dari negeri tetangganya. Pokoke terima jadi saja, asal bisa dibayar dengan uang.

Walaupun begitu, orang-orang pribumi yang memang asli nenek moyangnya sudah disini sejak kemerdekaannya, nampaknya santai-santai saja menyikapi ini. Toh mereka tetep diistimewakan dibanding para pendatang, status mereka masih ada lebihannya bisa dikatakan begitu tinimbang orang luar.

Suatu ketika, seorang Tokei yang saya kenal pernah ngomong, "buat saya anak satu biji itu saja udah terlalu banyak". Lha saya hanya spechless dengan mendenger yang demikian itu.Ya begitulah realita yang ada, mungkin suara itu mewakili dari sekian banyak pemikiran yang menggelayuti para pasangan usia produktifnya. Hal ikutan berikutnya yang jadi imbas akan minimnya niat berketurunan adalah semangkin demotivated nya generasi berikutnya untuk memasuki jenjang pernikahan dan ini jadi semangkin membuat gulung koming masyarakatnya. Bagaimana tidak, hawong sampai-sampai Pemimpin negara pun mengusulkan wacana 'kontak jodoh', biro jodo' atau semacamnya. Gimana caranya yang muda-muda itu mau nikah, mau
hidup bebrayan.

Weleh-weleh, lha kok hidup dibuat susah to yo, kok sajaknya hidup ini hanya dari yang kita usahakan saja. Apa ndak eling, kalo usaha itu cuma lantaran saja, kok nda' yakin kalau kita punya penjamin yang ngga' bakalan kena bangkrut seberapapun yang ditanggungnya, (kalau kita mau percaya).
Apakah anak-anak itu cukup dikasih makan, sama duit saja, terus diles pelajaran-pelajaran sekolah... ya kalau memang begitu, ya jadinya seperti ini ya generasi sekarang itu. Masak sih orang-orang yang katanya maju masih saja mau berpayah-payah gara-gara di drive sama materi.
Dasar ndunyane wis balik kiri grak!!!

Labels: