Thursday, August 28, 2008

Positioning

Sudah sangat mafhum dan sangat dikenali, bahwa ujung dari semua perasaan yang ada pada manusia adalah bagaimana mengkondisikan hati. Musibah, cobaan ataupun kebahagiaan berupa rizki, maka siratan perasaan manusia secara lanjut akan diolah oleh hati. Sejauh mana hati memberikan respon terhadap suatu fenomena, maka itu adala refleksi dari bagaimana orientasi hati pada waktu itu.
Tolok ukur inilah yang secara mudah bisa kita jadikan referensi untuk menilai dimana posisi hati kita saat itu.

Jika suatu saat terjadi musibah yang mengakibatkan hilangnya sejumlah materi, kemudian lha kok efek yang timbul adalah kegeloan tiada tara karena hilangnya si materi, lalu emosi jadi meluap, nyali jadi citu, merutuk tanpa alang kepalang, seribu tanda tanya, dari mulai kenapa musibah terjadi, kenapa harus saya, lalu secara cepat otak mengkalkulasi berapa kerugian yang diderita, entah berapa duit bakal melayang dll. Maka yakinlah posisi hati kita sedang dalam area duniawi secara condong dan menjauh dari area baqa'.

Dan ketika musibah terjadi, semisal yang mengakibatkan terenggutnya sisi-sisi kesehatan, kemudian hati ini teringat pada kisah Nabi Ayyub dan masih bisa bersabar serta bersyukur dari apa yang dia terima, maka kentara sekali posisi hati saat itu sedang dalam kondisi bagus.

Mendiagnosa kondisi hati, kemudian terlahirlah dari situ kondisi iman. Segera beranjak menuju posisi iman yang tinggi, bi'idznillah musibah bisa jadi berkah, hati jadi bungah, pikiran tak lagi resah dan gelisah. Dan ketika rizki didapatkan, insyaAlloh euforia akan cinta dunia tidak akan menggejala dan melenakan.

-sebuah kontemplasi dari konstipasi perasaan-

Labels:

Wednesday, August 27, 2008

Arisan

Tak berapa lalu saya berkesempatan datang mewakili keluarga ke forum arisan, kumpulan bapak-bapak se-RT di kampung. Hmm.. suatu pengalaman baru yang sangat menyenangkan, dan inilah suasana yang membikin guyub, kekeluargaan diantara tetangga yang untuk entah berapa lama sudah tidak saya rasakan.
Hari-hari belakangan ini, hidup ini hanya dilalui dari satu tembok ke tembok lain, kehidupan sosial jadi terpinggirkan. Mayoritasnya hanya dijejali pada interaksi yang mengedepankan simbiose antara atasan-bawahan, kolega se kumpeni, dan kolega satu angkutan umum. Dimana masing-masing didalamnya hanya ada hubungan "suka sama suka" atau " saya suka kamu duka".

Lucu juga berkumpul dengan Bapak-bapak yang notabene waktu dulu ketika saya masih ingusan serasa jauuhh sekali dari jangkauan pemikiran dan logika saya, sekarang waktunya kita duduk selevel dalam majelis arisan ini.

Hati ini jadi sejenak merenung, ternyata memang masa beranjak begitu cepat, begitu saja dia berlalu, masa-masa lalu menyapa tak begitu lama, kemudian disusul oleh fase-fase selanjutnya.Beliau-beliau tetap saja menjadi Bapak-bapak dan sebagiannya menjadi Kakek, dan saya bisa menyusul pada level itu pada akhirnya.

Wuih betapa merindunya pada Wedangan teh ndeso dan hidangan khas gorengan sebagai nyamikan pelengkap dari suasana akrab menemani obrolan-obrolan renyah membahas seputaran kehidupan sehari-hari, dengan menanggalkan topeng, jabatan, pangkat dll.

Labels: