Saturday, May 31, 2008

Sibuk Mengurus Orang Lain adalah Kebodohan!

Problematika hubungan kemanusiaan adalah fenomena klasik dan modern. Sebagian orang ada yang bersikap terlalu berlebihan dalam membina hubungan kemanusiaan dan mencurahkan segala perhatiannya ke arah sana. Ada juga yang berusaha mengurus diri sendiri saja, serta menghindari segala interaksi sosial sebisa mungkin. Akhirnya ia jarang bertemu dan mengunjungi orang lain, tidak banyak berteman dan berkenalan.

Generasi As-salaf telah memandang persoalan ini dengan cermat sekali. Mereka hanya mengharuskan mengadakan hubungan sosial sebatas yang diwajibkan oleh Islam, seperti shalat jama'ah, shalat jum'at, menjenguk orang sakit, mengiringi jenazah, berbuat kebaikan kepada orang lain dan sejenisnya. Namun mereka melarang terlalu banyak mengurus orang lain dalam majelis-majelis yang menyebabkan banyak mengumbar omong kosong dan ucapan sia-sia. Mereka juga melarang menjadikan hubungan sosial itu sebagai sandaran, meskipun banyak orang yang senang berbuat demikian. Banyak orang memandang hubungan sosial itu sebagai legitimasi kepentingan mereka atau indikasi dari kekuatan pengaruh mereka.

Lihatlah Wahib bin Al-Warid, seorang ahli ibadah yang zuhud, bahkan digelari oleh Sufyan Ats-tsauri sebagai "sang Dokter". Beliau menceritakan pengalaman beliau melakukan hubungan sosial dengan masyarakat. Beliau berkata: "Aku telah bergaul dengan masyarakat selama lima puluh tahun, namun tidak pernah kudapatkan seorangpun diantara mereka yang bisa memaafkan dosaku sedikitpun atau berbaik kembali setelah kuputuskan hubungan dengannya, atau suka menutupi aibku atau membuat diriku tetap nyaman meskipun ia sedang marah. Maka sibuk mengurus mereka adalah kebodohan yang besar".

Yang beliau maksud, bahwa menggantungkan harapan kepada mereka, mencoba mencari pujian mereka, memperhatikan ucapan mereka dan penilaian mereka terhadap orang lain, berusaha membuat mereka senang. Kesemuanya itu adalah kesibukan yang tidak membawa keuntungan, membuat letih tapi tidak bermanfaat. Manusia tetap saja manusia, di jaman apapun mereka hidup. Membuat mereka senang adalah target yang tidak akan pernah bisa dicapai. Sikap bijak mereka terhadap orang lain juga hal yang tidak bisa direalisasikan. Lalu kenapa seorang sampai lupa dengan kepentingannya sendiri? Atau membuang-buang waktunya dengan angan-angan semacam itu? Padahal sudah dimaklumi, bahwa orang lain tidak akan memberinya manfaat sedikitpun, tidak mampu menguntungkan atau membahayakan dirinya sama sekali.

Sesungguhnya, selama seorang sudah menunaikan kewajiban sosial yang diwajibkan oleh Alloh terhadap keluarga dan teman-temannya, selama ia sudah melaksanakan kewajiban bekerjasama dengan masyarakat Muslim, tidak ada masalah bila ia hendak berkonsentrasi mengurus dirinya sendiri, memanfaatkan waktu untuk mencari ilmu yang berguna atau beramal shalih, atau merancang cita-cita yang bermanfaat.

Namun kalau sekedar "kembang majelis" atau omongan-omonga yang sia-sia, sibuk menceritakan aib orang lain, bukan berinstropeksi diri, dengan dalil untuk mengambil hati orang lain, mencari pujian, menarik perhatian mereka, itulah yang disebut Wahib sebagai kebodohan terbesar.

Hendaknya seorang itu membayangkan posisinya sendiri dan bagaimana orang lain menyikapinya. Kalau semua harta, kedudukan dan kesehatan sudah habis, siapa lagi diantara mereka yang masih menyukainya dan berusaha menyenangkan hatinya?

Tidak pernahkah ia mendengar ungkapan orang yang ditinggal oleh temen-temannya ketika ia sudah kehilangan jabatan, lalu ketika jabatan itu kembali kepadanya, teman-temannya itupun kembali. Ia berkata:
"Masa lalu sudah kembali lagi, silakan kalian kembali..."
Atau ungkapan orang yang berkata;
"Manusia adalah yang berkata kepada orang yang mendapatkan kebaikan: "Siapa yang suka? Ibu dari seorang pendosa saja melahirkan orang bernama Habal (seorang pahlawan)?"

Lalu apa lagi nilai dari omongan manusia yang dikejar-kejar oleh sebagian orang, namun dibenci oleh sebagian yang lain? Kondisi masyarakat itu sebagaimana yang diungkapkan Wahib:
"Tidak bisa memaafkan dosa sedikitpun atau hanya berbaik kepada orang yang tidak memutuskan hubungan dengannya, atau suka menutupi aib, atau membuat nyaman bila ia sedang marah."

Kita berlindung dari Rabb semua manusia, Yang berhak diibadahi oleh seluruh manusia, dari kejahatan orang yang suka membisikkan keburukan dan syetan yang suka bersembunyi, dari golongan jin dan manusia.

Disalin dari buku:
Haakadzaa.. Tahaddatsas Salaf
Edisi Indonesia "Potret Kehidupan Para Salaf"
Dr Musthafa Abdul Wahid
Hal 191-193, Cetakan ke 2
Pustaka At-tibyan

Saturday, May 03, 2008

Kuliah

Q: Mas, sampeyan masuk UGM tahun berapa?
A: Saya? walah dek, kamu masih pake seragam putih merah, saya sudah nyanyi Hymne Gadjah Mada.

Seseorang menasihati waktu saya gagal lolos UMPTN 97:
Santai aja, tahun depan dicoba lagi, kalau udah masuk univ tu beda sama sekolah SD-SMP atau SMA, setaun lambat belum tentu ketinggalan seterusnya.

Seorang senior di kost berkata:
Kalau kuliah itu jangan sampai kehilangan momentum, momentum ilang satu semester tapi efeknya perkuliahan bisa molor 2-3 tahun

Labels: ,

Friday, May 02, 2008

Teratur dan Aturan

Hidup di negeri yang teratur memang ada enak ngga' enaknya, di daerah asal saya, karena memang aturan belum dilaksanakan dengan tegas, efeknya hukum rimba jadi begitu dominan, lalu lintas bisa sradak sruduk, bus umum yang notabene ukurannya paling gede serasa jadi penguasa jalanan.
Parkir di sembarang tempatpun ngga' masalah, asal kendaraan lain masih bisa mengakses jalan dan melaluinya dengan lancar, ngga' peduli kadang setengah roda naik trotoar.
Bicara trotoar, fungsinya bisa beralih jadi tempat pedagang kaki lima, saya sendiri ngga' mau menilai mana salah mana benar, tapi kalau merujuk pada fungsi dan aturan, yang namanya trotoar adalah tempat para pejalan kaki untuk beraksi. Tapi kalau si kaki lima ini digusur, rame-rame mereka demo, dipindah pun juga ngga' mau, ujung-ujungnya pemerintah yang mereka salahkan karena ngga' mampu menciptakan tenaga kerja, lalu dalih itu diusung oleh mereka kemudian bersama-sama dengan para pecundang berupaya ntuk mendongkel pemerintah. Ya jadinya begitu deh, negeri merdeka tapi pemerintah nya ngga' merdeka.
Harusnya pemerintah yang mengatur, malah banyak diatur. Mau ambil kebijakan ini, yang bernyanyi sumbang sudah lebih tinggi suaranya, laksana para pembajak film/lagu yang sudah mengedarkan produknya mendahului distributor resmi.

Nah, kalo di negeri yang teratur yang sementara ini sedang sayan diami. Soal keteraturan memang sudah jadi bagian hidup para masyarakatnya. Sebenernya mereka yang ngeyel bin ndableg pun juga ada, tapi itu bisa dihitung dengan jari (ngga' tau berapa jari yang diperlukan).

Birokrasi berjalan dengan jelas, ya walaupun harus ngurus ini-itu tapi kalau jelas dan memang SEMUA orang harus begitu ya mau gimana lagi. At least semuanya bisa dipersiapkan tanpa ada jalur-jalur siluman yang ada di tengah jalan.

Ngga' enaknya? ya terlalu strict aja, mau cari parkir harus di tempat yang sudah disediakan wal hasil kadang harus muter-muter dulu menjelajah seantero HDB tuk sekedar mencari tempat parkir yang legal.

Memang di sini dan di sana pun, semuanya punya aturan. Tapi apalah daya, yang namanya aturan kan cuma benda mati, si pelakunya ini yang bisa men-utilise si aturan itu.
Rambu-rambu lalu lintas, dia hanya terdiri tanda-tanda dan gambar, kalau S dicoret tandanya dilarang berhenti, kalaupun ada orang berhenti disitu, kemudian ada aparat penegak hukum di depan mobil kok hanya diam saja, ya ngga' ada fungsinya si rambu-rambu itu.

Tapi masak iya, untuk men-utilise si rambu-rambu harus menunggu ada pak polisi nungguin di rambu-rambu itu, ya buang-buang waktu dan tenaga si pak polisi kan kalo begitu.
Makanya tak heran di negeri ini tak ada perempatan yang dijaga sama polisi lalu lintas. Ngga' terdengar suara pluit seperti di daerah asal saya, saking bisingnya, sampai ngga' tau mana pluit pak polisi, pluit jaga parkir, atau pluit wasit sepak bola.

Jadi kalau si aturan itu ngga diperhatikan oleh si obyek ya hanyalah muspro (sia-sia) belaka, yang ada hanyalah buang-buang energi, materi, dan keringat.

So monggo-monggo.. untuk menghormati aturan dengan cara menaati aturan itu, dimula dari setiap diri kita.
Nanti lah, kalau ada niat dan minat, saya share beberapa contoh aturan-aturan yang berlaku di negeri ini, yang kadang aneh tapi ya kadang aneh juga.

Labels:

Thursday, May 01, 2008

Blogger Munfarid*

Rasanya bersyukur sekali blog saya ini tak banyak yang mengunjungi, jadi isi-isi yang di dalamnya pun juga tak banyak diketahui banyak khalayak. Karena dapat dibuktikan dengan angka pengunjungnya yang ngga' beranjak dari kisaran itu-itu saja, dan mainly tentu saja IP-IP yang notabene adalah PC yang saya gunakan yang menjadi pengisinya.

Dan selanjutnya untuk lebih menjaga hati dan perasaaan saya, maka postingan-postingan lalu yang karena satu dan lain hal kok sepertinya menjadi salah satu bagian yang disentil oleh (pesan-pesan di YM) beberapa teman yang kok ya pelan tapi kok mendalam dan jadi beban =),
maka lebih baiknya semua itu saya simpan dan saya khususkan untuk diri saya sendiri untuk menjadi bagian nasihat kepada saya sendiri, dan hal ini juga sekaligus untuk mengukuhkan diri bahwa saya adalah blogger munfarid)* yang tidak mau turut serta dalam wacana ngorak-arik (pemahaman) ummat karena ilmu dan lisan yang belum mapan.

nuwun

*meminjam istilah yang dilabelkan oleh Akh Abu Umair van Batam

Labels: